LATAR BELAKANG
Pada tahun 1956 Fred Siebert, Theodore Peterson dan Wilbur Schramm berupaya menggambarkan konflik antara negara dengan pers atau dengan istilah yang mereka populerkan “sistem pengawasan sosial yang mendasari penyesuaian hubungan antara individu dan lembaga”. Sebuah buku yang berjudul Four Theories On The Pers memiliki pengaruh cukup luas dan tetap dibaca oleh generasi penerus yang mempuyai harapan untuk bisa menjadi seorang expert dalam bidang komunikasi massa. Dengan berjudul The Authoritarian, Libertarian, Social Responsibility and Soviet Communist Concepts of What the Press Should Be and Do, dalam buku tersebut, sebenarnya hanya ada dua teori yaitu Otoritarian dan Libertarian. Sedangkan dua konsep lainnya semata-mata merupakan pengembangan dan modifikasi dari dua konsep yang pertama.
Pada tahun 1919, Holmes menulis perbedaan pendapat dalam Abrams. Konsep pasar bebas ide semakin mendekati kenyataan dibandingkan seperempat abad kemudian saat sebuah saat sebuah komisi dibentuk untuk menyelidiki status keterbatasan media. Dibawah kepemimpinan Rektor Universitas Chicago Robert M. Hutchins, komisi menemukan bahwa kebebasan pers menimbulkan bahaya karena meningkatnya situasi yang monopolistik. Hanya ada beberapa pihak yang mengontrol begitu banyak media. Kekhawatiran ini kata Siebert, Peterson dan Schramm merupakan landasan teori tanggung jawab sosial yang merupakan perubahan atau perkembangan libertarianisme.
Tanggung jawab sosial berbeda sejak dari akarnya yang terlihat dari pelaksanaan fungsi pers sebagai medium untuk membicarakan konflik. Sedangkan dibawah libertarianisme pers mengontrol pemerintah. Selain itu, bila teori libertarian menunjukan bahwa media bisa diperoleh siapa saja yang memiliki sarana ekonomi untuk memanfaatkan media. Maka teori tangggung jawab sosial menyatakan menyatakan bahwa semua orang yang ingin menanyakan sesuatu berhak untuk memanfaatkan media. Perbedaan yang lain adalah bahwa pers yang bertanggung jawab secara sosial serta kontrol dilakukan oleh pendapat masyarakat, tindakan konsumen dan etika profesional. Sedangkan libertarianisme didasarkan pada pasar bebas guna mengoreksi pers.
Komisi Hutchins (1947) menyarankan, bila pers tidak mengakui dan memenuhi tanggung jawab sosialnya. Maka diperlukan organisasi yang dianggap mampu menjalankan tugas yang harus dilaksanakan oleh pers. Komisi mengusulkan pembentukan badan independen yang akan menilai laporan tahunan dari kinerja pers.
Disamping menyarankan rekomendasi yang mencengangkan orang-orang pers, komisi Hutchins pun menunjukan sejumlah langkah yang mengarah pada pers yang lebih bertanggung jawab secara sosial, misalnya dengan menerima adanya kode etik. Penambahan jumlah halaman opini sehingga menampung sumbangan tulisan pembaca surat kabar, penayangan acara-acara yang berorientasi konsumen secara berkala dilakukan stasiun televisi lokal dan jaringan televisi serta pembentukan Dewan Pemberitaan Nasional pada tahun 1973. Tugas dewan ini hanya menampung keluhan dan pengaduan konsumen media serta mempertahankan terjaminnya kebebasan pers saat terancam. Dewan pemberitaan hanya bisa bertahan satu dasawarsa lantaran kurang dukungan media dan dana namun organisasi serupa tetap beroperasi di tingkat kota dan negara bagian.
Social Responssibility adalah pengembangan dari teori otoritarian dan libertarian. Social Responsibility merupakan arah perkembangan pers yang positif, dimana dalam hal tersebut dapat memperkuat pers ke arah depannya. Setiap pers dikontrol oleh masyarakat sendiri untuk memberikan tanggapan. Dalam hal ini pemerintah bertindak sebagai regulator, misalnya membuat UU Penyiaran, UU tentang Pers.
Teori Social Responssibility muncul pada pertengahan abad ke 20 saat Amerika Serikat keluar dari tradisi libertarian yang diawali dari tulisan-tulisan komisi kebebasan libertarian. Hal tersebut mempunyai tujuan untuk menginformasikan dan mendidik, membangun serta memajukan masyarakat. dalam teori Social Responssibility, pers hendaknya terbuka pada semua orang yang memiliki sesuatu yang dikatakan yang juga dapat dan bisa dikontrol oleh oleh pendapat masyarakat dan tindakan konsumen serta kode etik dewan pers dll. Seperti hal nya sebagai pers yang mempunyai asas Social Responssibility maka dalam penyiaran pemberitaannya tidak dibenarkan menerbitkan informasi yang membahayakan secara sosial atau menyerang hak-hak pribadi. Untuk menjaga konsistensinya biasanya media tersebut dimiliki oleh swasta tapi dimungkinkan terdapat campur tangan pemerintah hal tersebut diperlukan untuk menjamin kepentingan umum.
Seorang tokoh pers terkemuka, Robert Richard pada tahun 1985 mengajukan perubahan yang berarti atas tipologi lima-konsep Hachten. Dalam The Press and the Decline of Democracy, Richard menyarankan agar pendekatan kaum sosialis demokratik hendaknya diketengahkan diantara sub-sub kategori konsep barat. Hachten telah memasukan teori libertarian dan tanggung jawab sosial dalam apa yang disebutnya teori barat. Disamping itu ia juga merumuskan bahwa teori developmental (pembangunan) dan revolusioner, merupakan kontribusi utama pemikiran ilmiah terhadap isu filsafat media global. Richard memasukan sosialisme demoktarik dengan tanggung jawab sosial dengan tanggung jawab sosial dan libertarianisme sebagai seumber yang sama, yakni teori barat.
Teori pers kaum sosialis demokratik, seperti tanggung jawab sosial mengganggap bahwa media memiliki tugas membuka suara yang berbeda untuk didengar. Tetapi pendekatan kaum sosialis demokratik yang berkembang di Eropa Barat, membolehkan negara ikut campur dalam ekonomi dan pemilikan media supaya keberadaan pers terjamin dan kemampuan masyarakat memakai media terjamin pula. Richard menulis bahwa akhirnya, pemilikan dengan sistem semacam itu akan menjadi milik publik dan bukan untuk memperoleh keuntungan, lewat yayasan dan perusahaan non-profit, wartawan yang beroprasi kooperatif dan berbagai oraganisasi kolektif lainnya.
Konsep ini sangat berbeda secara signifikan dengan libertarian dan bahkan filsafat tanggung jawab sosial sebagaimana digambarkan dalam Theories of The Press. Konsep ini hendaknya diperkenalkan sebagaimana apa adanya. Richard memperkenalkan perbedaan radikal dengan teori-teori lama ketika ia menulis “Dengan teori sosialis demokratik, media dipandang sebagai sarana rakyat, kebutuhan publik tempat aspirasi rakyat, gagasan, pujian dan kritik negara dan masyarakat bisa disebarluaskan”. Dalam suatu sistem sedemikian ini, media beroprasi demi kebutuhan warga negara dan demi perlindungan hak sosial, ekonomi dan politik warga negara.
Richard mengelompokan sosialis demokratik dengan teori libertarian dan tanggung jawab sosial kedalam teori barat. Model penyusunan ini menimbulkan suatu ketegangan yang tidak mudah dapat dipersatukan. Dan mungkin setiap usaha rekonsiliasi hendaknya ditolak. Akan lebih logis untuk mengangkat teori sosialis demokratik yang kedudukannya sederajat dengan teori developmental (pembangunan) dan revolusioner. Jadi perlu memperbaiki penunjukan libertarian yang bertanggung jawab sosial agar memiliki kedudukan yang sama, akhirnya orang bisa mengilangkan imbuhan-kecenderungan dari penunjukan otoritarian dengan libertarian dan semua pemisahan istilah-istilah tersebut dari keseimbangan atau ketidakpastian. Perubahan sederhana ini dalam tipologi Richard akan mengurangi sistem klasifikasi pengotakan sehingga tercipta kontinum yang memandang teori-teori ini berubah-ubah daripada tetap. Terus berubah dalam dinamika, lebih bersifat organik daripada tetap bertahan dalam kerangka teoritis, hubungannya terpilah tegas, hal tersebut juga merupakan perubahan sederhana untuk mengurangi hal-hal yang tak masuk akal dalam tipologi untuk kategori “otoritarian” dengan “kecenderungan otoritarian” dan “libertarian” dengan “kecenderungan libertarian”.
Dalam hal ini, terdapat suatu kesenjangan yang tidak hanya berkenaan dengan sudah memadainya penelitian ilmiah, hubungan siaran dengan media cetak kebanyakan kepustakaan memperlakukan keduanya karena dengan media cetak tidak dapat dipisahkan dari sistem pengawasan negara pada kedua jenis media tersebut.
Kekuatan Social Responssibility dari segi Metodologis dan Teori
Teori Social Responssibility muncul pada pertengahan abad ke 20 saat Amerika Serikat keluar dari tradisi libertarian yang diawali dari tulisan-tulisan komisi kebebasan libertarian. Hal tersebut mempunyai tujuan :
1. Menginformasikan
2. Mendidik
3. Membangun serta memajukan masyarakat.
Dalam teori Social Responssibility, pers hendaknya terbuka pada semua orang yang memiliki sesuatu yang dikatakan yang juga dapat dan bisa dikontol oleh oleh pendapat masyarakat dan tindakan konsumen serta kode etik dewan pers dll. Seperti hal nya sebagai pers yang mempunyai asas Social Responssibility maka dalam penyiaran pemberitaannya tidak dibenarkan menerbitkan informasi yang membahayakan secara sosial atau menyerang hak-hak pribadi. Untuk menjaga konsistensinya biasanya media tersebut dimiliki oleh swasta tapi dimungkinkan terdapat campur tangan pemerintah hal tersebut diperlukan untuk menjamin kepentingan umum.
Media dengan dasar pemahaman Social Responssibility merupakan pengembangan dari teori otoritarian dan libertarian. Social Responsibility merupakan arah perkembangan pers yang positif, dimana dalam hal tersebut dapat memperkuat pers ke arah depannya. Setiap pers dikontrol oleh masyarakat sendiri untuk memberikan tanggapan. Dalam hal ini pemerintah bertindak sebagai regulator, misalnya membuat UU Penyiaran, UU tentang Pers.
Social Responsibility muncul sebagai reaksi dimana komisi menemukan bahwa kebebasan pers menimbulkan bahaya karena meningkatnya situasi yang monopolistik, dimana para pemilik media sangat minimum dalam mengontol pemberitaannya.
Dalam hal ini, media yang menekankan pada pemahaman Social Responsibility harus mempunyai misi-visi khusus pada para konsumen media yang mereka sajikan. Namun tetap mendapat kontrol dari pemerintah, dalam alam demokrasi yang sedang mengglobal sekarang ini, hal tersebut sangat baik dimana semua masyarakat diberi porsi yang sama dalam penyiaran berita tanpa melihat status sosial mereka.
Para pemilik media bisa dengan bebas dan bertanggung jawab dalam menyiarkan berita yang hendak mereka sajikan, jika di negara sosialis-komunis, mungkin pemberitaan media yang disampaikan pada khalayak ramai cenderung lebih ketat, maka di dalam kondisi ini peran pemerintah dan swasta sebagai pemilik media ibarat rumah dan penghuninya, karena didalamnya terdapat peraturan yang cenderung lebih moderat (negara-negara yang liberal dan demokratis) dibanding dengan jika kita memberikan analogi dari Lembaga Permasyarakatan dengan penghuninya. Dimana semua peraturan merupakan suatu hal yang mengikat dan tidak terbantahkan (negara-negara sosialis-komunis).
Kekuatan Social Responssibility dari segi Empiris
Social Responsibility merupakan suatu pemahaman yang didasari secara kuat dan kental oleh alur pikiran atau paham otoritarian dan libertarian, hal tersebut tidak berlebihan disebutkan karena secara historis, Social Responsibility muncul pada pertengahan abad ke 20 saat Amerika Serikat keluar dari tradisi libertarian dan dari tulisan-tulisan komisi kebebasan pers libertarian.
Dalam komunikasi terdapat apa yang disebut dengan ruang lingkup ilmu komunikasi, yaitu :
1. Komponen-komponen komunikasi
Yang terdiri dari komunikator, pesan, media, komunikan dan efek (sigifikasi)
2. Bentuk-bentuk komunikasi
Yang terdiri dari komunikasi yang bersifat personal baik itu intra atau antra personal, kelompok baik itu small maupun large group, dan massa baik dengan media cetak maupun elektronik.
3. Sifat-sifat komunikasi
Yang terdiri dari tatap muka, bermedia, komunikasi verbal dan non verbal
4. Metode-metode komunikasi
Yang terdiri dari jurnalistik, PR, Advertaising, Exibition, Propaganda dan penerangan.
5. Teknik-teknik komunikasi
Yang terdiri dari informatif, persuasif, instruktif dan manusiawi.
6. Tujuan-tujuan komunikasi
Yang terdiri dari persepsi, konsepsi, opini dan sikap
7. Model-model komunikasi
Yang terdiri dari one step dan two step
8. Bidang-bidang komunikasi
Semua hal tersebut yang menjadi dasar dan ruang lingkup dalam komunikasi dapat berjalan dengan berkesinambungan dan semua ruang lingkup ilmu komunikasi tersebut bisa dikonsumsi oleh masyarakat tanpa memandang dari golongan mana karena tujuan dari Teori Social Responssibility yang merupakan perubahan dan pengembangan teori otoritarian dan libertarian adalah untuk menginformasikan dan mendidik, membangun serta memajukan masyarakat.
Kelemahan Social Responssibility dari segi Metodologis dan Teori
Disebutkan bahwa tanggung jawab sosial berbeda sejak dari akarnya yang terlihat dari pelaksanaan fungsi pers sebagai medium untuk membicarakan konflik. Sedangkan dibawah libertarianisme pers mengontrol pemerintah. Selain itu, bila teori libertarian menunjukan bahwa media bisa diperoleh siapa saja yang memiliki sarana ekonomi untuk memanfaatkan media. Maka teori tangggung jawab sosial menyatakan menyatakan bahwa semua orang yang ingin menanyakan sesuatu berhak untuk memanfaatkan media. Perbedaan yang lain adalah bahwa pers yang bertanggung jawab secara sosial serta kontrol dilakukan oleh pendapat masyarakat, tindakan konsumen dan etika profesional. Sedangkan libertarianisme didasarkan pada pasar bebas guna mengoreksi pers.
Kemudian, disebutkan juga bahwa sebenarnya hanya ada dua teori yaitu Otoritarian dan Libertarian. Sedangkan dua konsep lainnya semata-mata merupakan pengembangan dan modifikasi dari dua konsep yang pertama.
Pendapat selanjutnya adalah bahwa Social Responssibility merupakan pengembangan dari teori otoritarian dan libertarian. Social Responsibility merupakan arah perkembangan pers yang positif, dimana dalam hal tersebut dapat memperkuat pers ke arah depannya. Setiap pers dikontrol oleh masyarakat sendiri untuk memberikan tanggapan. Dalam hal ini pemerintah bertindak sebagai regulator, misalnya membuat UU Penyiaran, UU tentang Pers.
Secara teoritis Social Responssibility, pers hendaknya terbuka pada semua orang yang memiliki sesuatu yang dikatakan yang juga dapat dan bisa dikontol oleh oleh pendapat masyarakat dan tindakan konsumen serta kode etik dewan pers dll. Seperti hal nya sebagai pers yang mempunyai asas Social Responssibility maka dalam penyiaran pemberitaannya tidak dibenarkan menerbitkan informasi yang membahayakan secara sosial atau menyerang hak-hak pribadi. Untuk menjaga konsistensinya biasanya media tersebut dimiliki oleh swasta tapi dimungkinkan terdapat campur tangan pemerintah hal tersebut diperlukan untuk menjamin kepentingan umum.
Hal-hal tersebut, dapat dikatakan sebagai benturan-benturan yang ada dalam bisnis media, mengapa dikatakan demikian ? karena disatu pihak terdapat nilai-nilai bisnis yang berorientasi pada keuntungan ekonomis dan disisi lain terdapat nilai-nilai moralitas yang harus diberikan pada masyarakat supaya mendapat keuntungan secara moral dan bersifat edukatif. Pendapat yang menyatakan bahwa “tanggung jawab sosial berbeda sejak dari akarnya yang terlihat dari pelaksanaan fungsi pers sebagai medium untuk membicarakan konflik. Sedangkan dibawah libertarianisme pers mengontrol pemerintah” pada awalnya mungkin benar bahwa media merupakan medium untuk membicarakan konflik dan alat untuk mengontrol pemerintah, dari hal tersebut terkesan bahwa “kekuasaan” tertinggi terdapat pada pers, namun hal tersebut kemudian menjadi terbalik saat pemerintah yang memberikan pembatasan pada media dalam menyiarkan berita. Napoleon Bonaparte pernah berujar bahwa “saya lebih takut pada sebuah pena seorang wartawan, daripada sepuluh meriam musuh di hadapan saya” sedemikian ampuh seorang pekerja media dalam membuat opini publik sehingga mempunyai potensi untuk melakukan perubahan yang revolusioner.
Social Responssibility merupakan pengembangan dari konsep otoritarian yang mempunyai padangan bahwa kebenaran di pandang dari penguasa yang pada gilirannya menyebarluaskan kebenaran tersebut kepada massa melalui pers, dengan kata lain fungsi pers adalah sebagai alat penyampaian kepada masyarakat tentang apa yang diinginkan penguasa untuk diketahui rakyat. Untuk mencegah penentangan terhadap kebenaran yang penguasa berikan, media hanya diizinkan terbit menurut otoritas penguasa tersebut, kepemilikan media oleh swasta pada masa ini sudah ada, namun hak-haknya diatur oleh penguasa dan izinnya bisa dicabut oleh penguasa jika media tersebut tidak berjalan sesuai dengan penguasa inginkan. Sedangkan dalam pemahaman libertarian, manusia tidak lagi dipandang secara pasif menerima kebenaran seperti yang telah ditentukan oleh penguasa. Namun, manusia dipandang secara rasional yang memiliki kemampuan bawaan untuk membedakan kebenaran dan kebathilan. Lebih jauh lagi hak untuk mencari kebenaran bisa saja dijalankan oleh setiap orang, peran media adalah untuk membantu pencarian tersebut, menolong individu mencari kebenaran. Oleh karena itu dalam sistem libertarian media bukanlah media bagian dari pemerintah melainkan sebagai sesuatu yang independen, otonom, dan bebas untuk mengekspresikan gagasan meskipun gagasan tersebut menyakitkan tanpa adannya campur tangan pemerintah.
Dari pemahaman otoritarian dan libertarian diatas kita bisa menyimpulkan bahwa Social Responssibility merupakan mix-dari otoritarian dan libertarian yang sebenarnya perubahan tersebut mempunyai kepentingan lain disamping kepentingan moral dan edukasi, kepentingan tersebut adalah kepentingan bisnis yang mempunyai nilai-nilai ekonomis.
Kelemahan Social Responssibility dari segi Empiris
Pemahaman Social Responssibility yang mempunyai tujuan unuk memberikan informasi, mendidik dan membangun serta memajukan masyarakat. Dan juga pada intinya memberikan kebebasan pers yang bertanggung jawab dengan diatur pemerintah, sesungguhnya terbentur dengan “Etika Internasional Media Massa” yang dikeluarkan oleh IPDC (International Program For Development of Communication’s) yang berisi delapan poin etika media massa, yaitu :
1. Dilarang menulis / memberitakan sesuatu yang menyerang rasa susila masyarakat.
2. Dilarang memberitakan yang menggambarkan tindakan kekerasan atau berita yang mendorong terjadinya tindakan kekerasan.
3. Dilarang memberikan berita yang mendorong / merangsang kebiasaan buruk.
4. Dilarang memberikan berita yang mendorong hasutan untuk menentang rezim yang berkuasa, ketentraman umum, penguasa atau tugas-tugas mereka.
5. Dilarang memberitakan yang bisa merusak hubungan baik dengan negara lain.
6. Jangan menulis / memberitakan yang menyerang kelompok masyarakat atau agama.
7. Dilarang memberitakan secara apapun menghina kepentingan nasional.
8. Dilarang menghina angkatan bersenjata.
KESIMPULAN
Dewasa ini tidak ada lagi orang yang dapat terhindar dari sentuhan perubahan zaman yang berlangsung cepat. Dalam menyaksikan kejadian luar biasa itu, kita punya aneka perubahan yang dibawa oleh kemajuan zaman. Salah satu di antara aneka perubahan besar tersebut adalah berlalunya sebagian besar nilai-nilai budaya komunikasi. Yang tersisa hanya merupakan masa silam yang nyaris tidak lagi memiliki efektivitas komunikasi berarti.
Dunia komunikasi menuntut pemahaman baru akan aspirasi kebebasannya. Kebebasan itu kian cenderung melanda aneka macam rambu etika dan hukum. Kecenderungan tersebut tidak lagi dapat ditahan. Segala macam undang-undang dan regulasi dianggap hambatan yang mesti dijauhkan.
UU Hukum Pidana yang selama ini mengatur delik pers, selain delik komunikasi massa, oleh kalangan pers dianggap tidak lagi sesuai dengan kebutuhan baru mengenai makna kebebasan pers.
Adalah kemajuan teknologi komunikasi dan informasi yang membawa pemahaman baru tentang konsep kebebasan pers. Kemajuan teknologi itu, seperti dinyatakan Prof Gianni Vattimo, menghadirkan ihwal baru di bidang komunikasi dan informasi (uncousealment with reference to the newly energing communication and information). Ihwal baru itu juga membawa tantangan baru bagi undang-undang yang selama ini mengatur media massa (challenging revialing). Sifat baru keberadaan dan kebebasan pers yang dibawa oleh kemajuan teknologi komunikasi dan informasi cenderung memperlebar kesenjangan antara tuntutan kebebasan pers dan perubahan sistem hukum di Indonesia. Hal itu dapat berarti berubahnya fungsi UU Hukum Pidana sebagai post publication penalty menjadi pre-publication penalty (sensor) terhadap kebebasan pers yang melanggar hukum (abuse of freedom).
Tentu saja tuntutan baru mengenai freedom of the press itu wajib diberi perhatian oleh negara, pemerintah, lembaga peradilan, lembaga legislatif, dan masyarakat. Alasannya, dewasa ini tak mungkin kita memahami kehidupan bernegara, berbangsa, dan bermasyarakat tanpa keterlibatan pers. Tak lagi mungkin atau amat sulit memahami keberadaan institusi- institusi sosial itu tanpa keberadilan institusi media massa (pers). Adalah Karel Klaus, pakar politik dari Wina, yang menyatakan, "In the beginning was the press and then the world appeared" Thomas Jefferson yang pernyataannya sering dikutip berbagai pihak mengatakan, "Were it left to me to decide wether we should have a government without press. Or press without a government, I Should not hesitate a moment to prefer the letter."
Negara-negara yang menganut teori pers otoritarian, seperti Indonesia di zaman Orde Baru, misalnya, memahami bahwa kebebasan rakyat akan amat melemah jika rakyat tidak memiliki akses kepada berita yang jujur dan tidak disensor tentang apa yang terjadi di negaranya. Pemasungan terhadap kebebasan pers dilakukan dengan UU Nomor 11 Tahun 1966 juncto UU Nomor 21 Tahun 1982. UU Pers Orde Baru itu berhasil mematikan demokrasi dalam perilaku politik rakyat.
Dambaan akan manfaat Hak Jawab pun tidak atau belum dapat terpenuhi dalam hal terjadi delik pers. Yurisprudensi (putusan MA) Nomor 3173/K/Pdt/1991 tanggal 28 April 1993 sama sekali tidak mengubah Hak Jawab menjadi Kewajiban Jawab bagi pihak yang merasa dirugikan sebuah berita pers.
Dengan demikian, jika sistem hukum media nasional hendak dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan baru mengenai kebebasan pers, maka mau tak mau, suka tak suka, UU Pers harus disempurnakan. Sesudah disempurnakan, undang-undang pers baru dapat menjadi lex specialis dalam perkara delik pers.
Beberapa tambahan dari perubahan atas ketentuan UU No 40/1999 tentang pers. Pertama-tama semua pasal di dalam KUH-Pidana yang mengatur delik komunikasi massa, yakni penghinaan, pencemaran nama baik atau nista, menghasut di muka umum, berita bohong, dan penghinaan terhadap presiden atau wakil presiden (Pasal 137, 154-155, 156-156a, 160-161, 207-208, 310) yang melibatkan pers dialihkan ke dalam UU Pers dengan pasal-pasal baru dan rumusan baru. Sebutan "perusahaan pers" menjadi subyek, pengganti kata "barang siapa" (wherever) atau "setiap orang". Misalnya, Perusahaan pers dilarang menyebarkan berita, gambar, atau opini yang menyerang nama baik atau kehormatan seseorang atau sekelompok orang dengan menuduh orang atau orang-orang itu melakukan perbuatan atau ada dalam keadaan yang tercela (eks-Pasal 310 KUH-Pidana).
Dengan demikian, kebebasan pers merupakan sesuatu yang bersifat semu dan hambar mengingat campur-aduknya berbagai kepentingan di dalam media massa.